Sudan Selatan; Ketika Harapan Berubah Menjadi Mimpi Buruk - www.alodunia.com

728x90 AdSpace

Trending

Sudan Selatan; Ketika Harapan Berubah Menjadi Mimpi Buruk

alodunia.com (Juba) – Perang memang telah berhenti antara selatan dan utara Sudan. Tapi ternyata perang kembali pecah antar kawan perjuangan sendiri. Perang sedang berkecamuk antara dua faksi pemerintahan Sudan Selatan. Para pengikut Presiden Salva Kiir Mayardit dan pendukung wakilnya sendiri, Riek Machar.

Banyak pihak menyebut, harapan indah Sudan Selatan bisa terpisah dari Sudan dan menjadi negara tersendiri telah berubah menjadi sebuah mimpi buruk. Hal itu menyusu banyaknya terjadi konflik politik dan kesukuan yang telah memecah-mecah negara baru ini.

Kematian dini John Garang, pemimpin separatis Sudan Selatan, disebut-sebut sebagai penyebab gagalnya mimpi Sudan Selatan menjadi sebuah negara yang makmur. Terjadilah konflik antar suku, yang disuburkan dengan kerusakan birokrasi dan korupsi. Sumbernya, tidak lain, adalah miliaran Dollar dana hasil penjualan minyak dan gas. Korbannya adalah rakyat sipil yang sangat dikecewakan para pemimpin mereka.

Ada hal yang lebih menyedihkan lagi. Dalam laporan komisioner HAM PBB, dikatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan masih terus berlangsung tanpa ada hukum yang menindak. Bahkan kejahatan itu langsung menarget para warga sipil hanya karena mereka berasal dari suku tertentu.

Dilaporkan bahwa terjadi 217 kasus pemerkosaan dan pemerkosaan massal pada perang Juli di Sudan Selatan. Sementara kebanyakan kasus kekerasan seksual biasa dilakukan oleh aparat militer dan keamanan negara ini.

Pengamat Sudan Selatan, Atim Simon, mengatakan bahwa bibit terjadi konflik sekarang adalah konflik internal dalam kelompok berkuasa, yaitu gerakan rakyat untuk membebaskan Sudan (SPLM) yang sudah mulai terbentuk sejak tahun 1980-an. Gerakan yang terdiri dari berbagai aliran politik ini sempat pecah pada tahun 1991. Tapi beberapa tahun kemudian, tokoh-tokoh yang memisahkan diri kembali bergabung, di antaranya adalah Riek Machar.

Masih menurut Simon, pada tahun 2013, konflik politik ini berubah menjadi konflik perebutan jabatan pemimpin negara. Tepatnya saat pembahasan amandemen konstitusi yang menyebutkan tentang wewenang seorang pemimpin negara, kesempatan untuk mencalonkan diri, dan persaingan menjadi pemimpin gerakan. Saat itu SPLM terpecah menjadi 3 kelompok; kelompok pemerintah di dipimpin Salva Kiir, kelompok oposisi dipimpin Machar, dan kelompok mantan tahanan dipimpin Pagan Amum.

Jadi, para pemimpin politiklah yang bertanggung jawab atas terjadinya perang, kehancuran negara, perubahan konflik politik menjadi konflik antarsuku. Para pemimpin gagal mengelola Sudan Selatan yang sangat kaya dengan keragaman suku dan sumber daya alam yang meruah.

Menurut pengamat politik Sudan, Mahjub Muhammad Saleh, sejak kemerdekaan Sudan, bagian selatan memang menuntut status khusus. Di antaranya mereka meminta bentuk negara federal. Namun tuntutan mereka kemudian semakin jauh, hingga muncul kelompok yang menginginkan disintegrasi dari Sudan. Maka terpisahlah Sudan Selatan melalui referendum tahun 2011.

Adapun tentang konflik internal, masih menurut Saleh, bibitnya sudah ada sejak zaman penjajahan. Hampir seluruh negara di Afrika, terbentuknya kelompok politik dan batas negara disesuaikan dengan kepentingan penjajah. Karena itulah, setelah merdeka, negara-negara di Afrika kesulitan untuk membangun sebuah negara nasional. Yang terjadi adalah satu suku berkuasa, dan suku lain melawan.

Kematian John Garang dalam sebuah penerbangan helikopter di Uganda, sedikit-banyak, berpengaruh terhadap terjadinya konflik. Karena dialah orang yang mampu menyatukan suku-suku yang berbeda di negara Afrika yang dilalui garis khatulistiwa itu. (aljazeera/alodunia.com)
Sudan Selatan; Ketika Harapan Berubah Menjadi Mimpi Buruk Reviewed by Alo Dunia on 1/17/2017 Rating: 5 alodunia.com (Juba) – Perang memang telah berhenti antara selatan dan utara Sudan. Tapi ternyata perang kembali pecah antar kawan perjua...