alodunia.com (Juba) – Perang memang telah berhenti
antara selatan dan utara Sudan. Tapi ternyata perang kembali pecah antar kawan
perjuangan sendiri. Perang sedang berkecamuk antara dua faksi pemerintahan
Sudan Selatan. Para pengikut Presiden Salva Kiir Mayardit dan pendukung
wakilnya sendiri, Riek Machar.
Banyak pihak menyebut, harapan indah Sudan Selatan bisa
terpisah dari Sudan dan menjadi negara tersendiri telah berubah menjadi sebuah
mimpi buruk. Hal itu menyusu banyaknya terjadi konflik politik dan kesukuan
yang telah memecah-mecah negara baru ini.
Kematian dini John Garang, pemimpin separatis Sudan Selatan,
disebut-sebut sebagai penyebab gagalnya mimpi Sudan Selatan menjadi sebuah
negara yang makmur. Terjadilah konflik antar suku, yang disuburkan dengan
kerusakan birokrasi dan korupsi. Sumbernya, tidak lain, adalah miliaran Dollar
dana hasil penjualan minyak dan gas. Korbannya adalah rakyat sipil yang sangat
dikecewakan para pemimpin mereka.
Ada hal yang lebih menyedihkan lagi. Dalam laporan komisioner
HAM PBB, dikatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan masih terus berlangsung
tanpa ada hukum yang menindak. Bahkan kejahatan itu langsung menarget para warga
sipil hanya karena mereka berasal dari suku tertentu.
Dilaporkan bahwa terjadi 217 kasus pemerkosaan dan
pemerkosaan massal pada perang Juli di Sudan Selatan. Sementara kebanyakan kasus
kekerasan seksual biasa dilakukan oleh aparat militer dan keamanan negara ini.
Pengamat Sudan Selatan, Atim Simon, mengatakan bahwa bibit
terjadi konflik sekarang adalah konflik internal dalam kelompok berkuasa, yaitu
gerakan rakyat untuk membebaskan Sudan (SPLM) yang sudah mulai terbentuk sejak
tahun 1980-an. Gerakan yang terdiri dari berbagai aliran politik ini sempat
pecah pada tahun 1991. Tapi beberapa tahun kemudian, tokoh-tokoh yang
memisahkan diri kembali bergabung, di antaranya adalah Riek Machar.
Masih menurut Simon, pada tahun 2013, konflik politik ini
berubah menjadi konflik perebutan jabatan pemimpin negara. Tepatnya saat
pembahasan amandemen konstitusi yang menyebutkan tentang wewenang seorang
pemimpin negara, kesempatan untuk mencalonkan diri, dan persaingan menjadi pemimpin
gerakan. Saat itu SPLM terpecah menjadi 3 kelompok; kelompok pemerintah di dipimpin
Salva Kiir, kelompok oposisi dipimpin Machar, dan kelompok mantan tahanan
dipimpin Pagan Amum.
Jadi, para pemimpin politiklah yang bertanggung jawab atas
terjadinya perang, kehancuran negara, perubahan konflik politik menjadi konflik
antarsuku. Para pemimpin gagal mengelola Sudan Selatan yang sangat kaya dengan
keragaman suku dan sumber daya alam yang meruah.
Menurut pengamat politik Sudan, Mahjub Muhammad Saleh, sejak
kemerdekaan Sudan, bagian selatan memang menuntut status khusus. Di antaranya
mereka meminta bentuk negara federal. Namun tuntutan mereka kemudian semakin
jauh, hingga muncul kelompok yang menginginkan disintegrasi dari Sudan. Maka terpisahlah
Sudan Selatan melalui referendum tahun 2011.
Adapun tentang konflik internal, masih menurut Saleh, bibitnya
sudah ada sejak zaman penjajahan. Hampir seluruh negara di Afrika, terbentuknya
kelompok politik dan batas negara disesuaikan dengan kepentingan penjajah. Karena
itulah, setelah merdeka, negara-negara di Afrika kesulitan untuk membangun
sebuah negara nasional. Yang terjadi adalah satu suku berkuasa, dan suku lain
melawan.
Kematian John Garang dalam sebuah penerbangan helikopter di
Uganda, sedikit-banyak, berpengaruh terhadap terjadinya konflik. Karena dialah
orang yang mampu menyatukan suku-suku yang berbeda di negara Afrika yang
dilalui garis khatulistiwa itu. (aljazeera/alodunia.com)