alodunia.com (Washington) - Presiden Donald Trump berkali-kali
mengancam Iran menyusul uji coba peluru kendali beberapa hari lalu. Tindakan
Iran disebutnya sebagai ‘bermain api’.
Melalui akun resmi Twitternya, Trump mengatakan, “Teheran
tidak bisa menghargai betapa Obama bersikap lembut kepada mereka. Aku tidak
akan seperti Obama.” Sebelumnya, Trump juga mengatakan, “Semua kemungkinan balasan
bisa saja terjadi.”
Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif, langsung
membalas, “Iran tidak akan pedulikan ancaman-ancaman itu. Karena rasa aman kami
berasal dari rakyat kami. Kami tidak akan memulai perang, tapi kami bisa menggunakan
senjata untuk membela diri.”
Bahasa-bahasa panas antar dua negara ini mengingatkan kepada
permusuhan yang dibuat-buat antara kedua negara tersebut selama beberapa dekade
sejak berkuasanya Khomeini. Saling ancam seperti ini adalah sebuah politik yang
telah disepakati keduanya untuk memperoleh kepentingan-kepentingan mereka di
Timur Tengah.
Karena tak satu pun ancaman itu yang terlaksana. Bahkan yang
terjadi di Timur Tengah adalah tindakan-tindakan Iran yang membantu Amerika dan
Israel mendapatkan kepentingannya.
Pada tahun 2005 George Bush menekankan bahwa sangat mungkin
menyerang Iran secara militer. Hal yang sama juga dilakukan Barack Obama. Ancaman
bertubi-tubi itu hanya berujung dengan kesepakatan nuklir antara Iran dan 6
negara besar.
Sangat mungkin gaya Trump hanya melanjutkan ‘lagu lama’
Amerika. Tujuannya pasti memudahkan Iran untuk semakin mencengkeram
kekuasaannya di Timur Tengah. Iran akan berlagak sebagai pihak yang melawan dan
tidak mau tunduk dengan Amerika. Padahal yang Iran lawan adalah umat Islam,
bukan Amerika.
Gejala seperti ini bisa dirasakan dari pernyataan
pejabat-pejabat Amerika. Bahasa mereka adalah mengancam, tapi tidak ada secara
lapangan tidak ada penambahan pasukan dan persiapan apa-apa di Timur Tengah.
Sebenarnya banyak pengamat telah melihat hal ini, dan memperingatkan
umat Islam untuk tidak mengikuti irama permainan mereka. misalnya Prof. Mohamed
Habib Marzouki yang meminta umat Islam tidak jatuh di lubang yang sama. “Media
Arab seperti biasanya, masuk dalam jabakan. Berkali-kali jatuh di lubang yang
sama,” demikian katanya.
Marzouki menyampaikan melalui akun Twitternya, “Setelah kubu
musuh Amerika kehilangan kredibilitasnya, dan terungkap semua kebohongannya,
saat inilah kita lihat Iran mengancam Amerika secara berlebihan. Iran ingin
mendapat kartu dukungan lagi.”
Marzouki menambahkan, “Ancaman para pejabat Iran bertujuan
mendapatkan dua hal; soliditas dalam negeri, dan tampil sebagai pelawan
Amerika. Aku yakin kali ini mereka gagal. Rezim Iran sedang sekaratul maut.”
Dr. Abdullah Al-Nafisi, pemikir dan pakar ilmu politik
Kuwait, mengatakan, “Setiap kali timbul masalah besar di dalam negeri, Iran
selalu sengaja membuat masalah dengan luar negeri, hanya untuk propaganda. Pola
ini terus berulang sejak tahun 1980. Inilah tafsiran uji coba rudal balistik
beberapa hari lalu.”
Hingga kini, Iran yang sering dikatan sebagai sumber teroris
terbesar, masih aman-aman saja. ‘Setan Terbesar’ ini bahkan diajak melakukan
kesepakatan nuklir yang sangat menguntungkannya.
Bahkan Anwar Malek, jurnalis Aljazair, mengatakan, “Sejak
dulu, Iran selalu menjadi alat Barat untuk mewujudkan kepentingan Barat di
Timur Tengah. Maka bisa kita lihat, dalam kondisi diancam atau dimanja Barat,
Iran selalu memusuhi bangsa Arab dan umat Islam.
Menurut Malek, rezim Iran masih tetap eksis karena dua
senjata mereka. Pertama adalah sejata agama berupa tampil sebagai pihak yang
terzhalimi. Kedua, senjata dunia, tampil sebagai penentang dan musuh Barat.
(almoslim/alodunia.com)
Ziyad El-Chami