alodunia.com – Kandidat presiden Marine Le Pen
memenangkan pemilu presiden Prancis putaran pertama, 23/4/2017 yang lalu.
Disusul seorang kandidat dari kubu moderat, Emmanuel Macron.
Setelah penghitungan seluruh suara yang berjumlah sekitar 20
juta suara, Le Pen yang berasal dari Partai Front National (FN) mendapat 24.38%
suara, sementara Macron dari independen mendapatkan 22.19%. Dengan demikian,
dua kandidat ini berhak untuk masuk putaran kedua yang akan berlangsung pada 7
Mei mendatang.
Dalam pemilu Prancis, rakyat yang mendapatkan undangan untuk
memilih mencapai 47 juta orang. 45.67 juta di antaranya berada di dalam negeri.
Untuk menjaga keamanan TPS yang berjumlah 69 ribu,
pemerintah mengerahkan 50 ribu polisi dan 77 ribu personil militer.
Dalam kampanye-kampanyenya, Le Pen menampakkan sikap
permusuhannya dengan umat Islam dan imigran. Pada tanggal 5 Februari 2017, di
depan ribuan pendukungnya yang meneriakan yel-yel “Ini negeri kami”, Le Pen
mengatakan, “Akulah satu-satunya yang akan melindungi Prancis dari ektremisme
Islam dan globalisasi jika berhasil dipilih menjadi presiden pada bulan Mei.”
Le Pen seringkali mengecam umat Islam yang melaksanakan
shalat di jalan-jalan pada hari Jumat dan hari-hari besar keagamaan. Jika terpilih
menjadi presiden, dirinya berjanji akan mengeluarkan undang-undang yang
melarang hal tersebut. Orang yang melanggarnya akan mendapatkan sanksi yang
sangat berat.
Dalam masalah kewarganegaraan, Le Pen ingin mewajibkan orang
Prancis yang memiliki dua kewarganegaraan untuk melepaskan salah satunya. Kebijakan
ini akan menyasar warga Muslim dengan jumlah yang sangat besar. Karena banyak
di antara mereka yang telah memiliki kewarganegaraan Prancis tapi juga masih
mempertahankan kewarganegaraan aslinya di Afrika Utara.
Dalam kesempatan lain, Le Pen mengatakan, “Aku akan sangat membatasi
datangnya imigran, akan mendeportasi imigran-imigran ilegal. Banyak hak yang
akan aku khususkan hanya untuk pribumi Prancis, di antaranya hak mendapatkan
pendidikan.
Sementara itu, Macron memilih sikap berseberangan dengan Le
Pen. Kandidat muda ini tidak bersikap keras kepada komunitas Muslim dan
imigran, mempertahankan Prancis sebagai anggota Uni Eropa, dan mengangkat
jargon “Tidak Kiri Tidak Kanan”.
Macron adalah mantan menteri ekonomi. Pada bulan Oktober
2016 yang silam Macron sempat menyatakan “Prancis telah melakukan kesalahan
besar. Misalnya dengan melakukan hal yang merugikan komunitas Muslim dengan
cara yang sangat tidak adil.”
Saat berkunjung ke Aljazair pada bulan Februari 2017, Macron
mengatakan, “Sejarah Prancis di Aljazair berisi kejahatan terhadap kemanusiaan.
Prancis benar-benar sangat kejam. Prancis harus mengakui sejarah kelam itu, dan
meminta maaf kepada pihak-pihak yang telah dirugikan.”
Pernyataan ini langsung disambut Le Pen untuk mendukung
dirinya, “Apakah ada yang lebih buruk saat engkau ingin dipilih menjadi
presiden engkau pergi ke luar negeri lalu menuduh negaramu sendiri telah melakukan
kejahatan terhadap kemanusiaan?”
Le Pen benar-benar memanfaatkan sikap Macron untuk
kampanyenya. Misalnya dengan mengatakan bahwa jika Macron terpilih maka akan
memberikan kesempatan islamisme untuk semakin kuat maju. “Rakyat Prancis harus
sadar, jika Prancis bernasib buruk memiliki presiden Macron, maka Prancis akan
semakin tenggelam dalam masyarakat multi budaya.”
Semua tuduhan Le Pen itu dijawab Macron dengan ringan, “Tidak
ada satu agama pun yang menjadi masalah untuk Prancis. Kalau memang negara
harus bersikap netral, seperti diajarkan sekularisme, maka kita harus membiarkan
masing-masing warga untuk melaksanakan ajaran agamanya dengan penuh kemuliaan.”
(huffpost/alodunia.com)