Ikhwanul Muslimin, Wahabi, dan Arab Saudi, Saatnya Berpisah? - www.alodunia.com

728x90 AdSpace

Trending

Ikhwanul Muslimin, Wahabi, dan Arab Saudi, Saatnya Berpisah?

Oleh: Soumaya Rached Ghannouchi

alodunia.com – Semakin hari semakin terbukti bahwa Arab Saudi berada dalam posisi yang salah. Banyak siikap dan kebijakan politiknya yang tidak menguntungkannya. Kerajaan ini memangku tanah suci yang menjadi kiblat umat Islam seluruh dunia. Legalitas pemerintahannya juga didasarkan pada asas agama. Arab Saudi salah satu dari sedikit negara yang tidak memiliki konstitusi dengan dalih langsung menyerap tata negaranya dari Al-Quran dan Sunnah. Wewenang pemerintahannya pun tidak diatur dan diawasi dengan alasan wajibnya ketaatan kepada pemimpin.

Hal semacam ini telah berjalan selama beberapa dekade setelah tercapainya kesepakatan antara kekuasaan Al-Su’ud dan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab pada tahun 1745, kemudian disusul dengan berdirinya Kerajaan Arab Saudi pada tahun 1818.

Kebanyakan orang menilai Arab Saudi adalah sebuah negara agama. Padahal status yang lebih sesuai dengan realita adalah sebuah negara tanpa kendali yang hanya dikendalikan oleh tokoh-tokoh pemegang kekuasaan materi dan kekuasaan rohani.  Tepatnya, orang-orang itu memegang kekuasaan, kekayaan, agama, dan semuanya.

Awalnya, hubungan ini lebih terlihat sebagai sebuah koalisi antara pemegang kekuasaan militer dan para pegiat dakwah agama. Namun bargaining koalisi ini kian hari kian tidak seimbang, dan lebih dimonopoli oleh pemegang kekuasaan militer. Para da’i dan ulama Saudi, pelan namun pasti, berubah menjadi sekadar pagawai keagamaan kerajaan yang mendapatkan gaji. Mereka juga mendapatkan pemberian kerajaan yang besarannya disesuaikan dengan tingkat kebutuhan kerajaan kepada orang itu, dan hukum supply and demand.

Para tokoh agama Arab Saudi piawai dalam memerangi pelaku kekafiran, kesyirikan, dan kesesatan. Tapi ketika penguasa mengundang militer Amerika dan negara-negara Barat lainnya, mereka langsung mengeluarkan fatwa bolehnya meminta bantuan kepada militer kafir.

Ketika menghadapi ekspansi kelompok kiri dan Pan-Arabisme Abdel Naser, Arab Saudi menjalin semacam koalisi dengan gerakan Islam, terutama Jamaah Ikhwanul Muslimin. Saat itu Raja Faishal menampung banyak tokoh pimpinan Ikhwanul Muslimin yang menyelamatkan diri dari pemberangusan oleh Gamal Abdel Naser.

Kemudian, Arab Saudi juga berkoalisi dengan Pakistan di bahwa payung militer Amerika. Mereka mendanai dan mempersenjatai kelompok Islam bersenjata Afghanistan untuk menghadapi Uni Soviet yang mereka sebut sebagai Imperium Jahat. Demikianlah seterusnya, Arab Saudi mengambil kebijakan berkoalisi dengan kelompok-kelompok Islam untuk menghadapi ekspansi komunisme dan bahaya Syiah.

Perkembangan baru terjadi pada masa kekuasaan Raja Abdullah akibat rasa takut berlebihan pada Musim Semi Arab. Kebijakan berubah menjadi memusuhi gerakan Islam, bahkan berusaha untuk menghabisinya. Bukan karena memusuhi Islam. Tapi karena gerakan-gerakan ini telah berhasil menyelaraskan antara Islam dan demokrasi sehingga banyak di antara mereka berhasil mencapai pusat kekuasaan dengan legalitas kotak suara.

Hal sedemikian adalah sebuah ‘dosa besar’ dalam pandangan penghuni istana kerajaan. Karena ada ancaman dirasa menghampiri mereka kekuasaannya didasarkan pada klaim penerapan syariah, kembali kepada Al-Quran – Sunah, tanpa melalui perantaraan konstitusi dan lembaga negara.

Saat ini Arab Saudi pun sedang melakukan perang sucinya melawan beberapa front Islam. Pertama, perang melawan Al-Qaida dan ISIS, yang keduanya terbentuk dalam lingkungan Wahabi, walaupun kemudian melawan Wahabi dan mengeluarkan hal yang tersembunyi dalam gerakan Wahabi yaitu pengkafiran dan condong kepada kekerasan dalam melakukan perubahan.

Kedua, perang melawan Iran dan kelompok-kelompok Syiah di Teluk dan seluruh kawasan Timur Tengah. Ketiga, perang melawan Ikhwanul Muslimin, yaitu sebuah kelompok Islam moderat namun tidak sepandangan dengan kerajaan Arab Saudi.

Beberapa hari ini Lembaga Ulama Besar mengeluarkan fatwa tentang Ikhwanul Muslimin yang sengaja dibuat sesuai dengan tuntutan perang yang sedang dilakukan kerajaan. Fatwa itu menyebut Ikhwanul Muslimin tidak memperhatikan perbaikan akidah umat, manhaj dakwah mereka batil, dan identik dengan melawan pemerintahan yang sah.

Memang banyak hal yang harus dikritik dalam tubuh Ikhwanul Muslimin. Tapi kalau pihak yang menuduh itu adalah para ulama Arab Saudi, maka tuduhan mereka harus dijawab. Lembaga ulama Arab Saudi mempunyai akar yang kuat kepada Wahabi, lalu apakah dia berhak berbicara tentang ekstremisme dalam beragama?

Wahabi adalah contoh nyata tentang kekerasan dalam beragama dan keterpencilan dari kemodernan. Mereka tak ubahnya seperti pemberi stempel agama untuk kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa. Fatwa yang mereka keluarkan harus mendukung kebijakan pemerintah.

Mereka menngkritik Ikhwanul Muslimin  tidak memperhatikann perbaikan akidah, seakan merekalah yang sudah dipastikan memiliki akidah yang benar. Sementara kelompok lainnya adalah kelompok kebatilan. Fatwa mereka ini menampakkan manhaj takfiri (mengkafirkan Muslim lainnya) yang sudah tertanam sangat dalam pada ajaran Wahabi. Namun mereka telah memasuki front yang salah dalam perang. Kadang turut membuat buruk wajah Islam.

Islam akhirnya diidentikkan dengan mempersempit ruang gerak wanita, merampas hak mereka walaupun sekadar hak untuk mengendarai mobil. Islam dibuat sebagai pengikut dalam keterbelakangan politik, dengan cara kewajiban taat kepada pemimpin yang menggunakan kekuasaannya tanpa konstitusi, undang-undang, pemilihan umum, dan indepensi peradilan. Inilah juga sangat mungkin dikatakan sebagai kerusakan dalam agama dan akidah.

Mereka mengkritik Ikhwanul Muslimin identik dengan perlawanan terhadap pemerintah. Padahal Wahabilah yang pertama kali melawan dan memberontak pemerintah yang sah, yaitu Khilafah Utsmaniyah. Mereka mengkafirkan dan mengkampanyeburukkan para pemegang kekuasaan politik dunia Islam itu saat mereka sedang mati-matian melawan kerajaan-kerajaan Eropa yang sedang merangsek menyerang dunia Islam.

Ada virus takfir dan pemberontakan yang tertanam sangat kuat dalam pemikiran Wahabi sebelum Wahabi berubah menjadi ideologi resmi penjaga penguasa Arab Saudi. Ideologi takfiri mereka padam karena pedang penguasa sudah bersama mereka, tersisalah perang atas nama akidah dengan cara menyerang mazhab-mazhab lain dalam Islam seperti Asy’ariyah, Muktazilah, para filsuf, tasawuf, Syiah dan lainnya. Mereka mengklaim diri sebagai pegang trah Salafus Shalih.

Pada dasarnya, tampaknya perbedaan sikap yang jelas antara Wahabi dan gerakan-gerakan Islam lainnya saat ini adalah fenomena yang sangat baik. Meskipun ada juga bahayanya, tapi manfaatnya lebih besar daripada bahayanya. Manfaat besarnya adalah menghilangkan warisan Salafi yang berciri kekerasan dalam beragama.

Karena memang hubungan antara Arab Saudi dan gerakan-gerakan Islamm telah berpengaruh sangat buruk pada tedorongnya gerakan-gerakan ini ke arah kekerasan dalam beragama mengikuti Salafi Wahabi. Bahkan semakin tipis perbedaan antara Islam politik dan Salafi Wahabi dalam kerangka yang sering dikenal dengan Kebangkitan Islam. Hal itu terlihat jelas melalui kecenderungan sikap keras terhadap wanita, kebebasan berkeyakinan, dan menyebarnya penampilan Salafi yang meringkas agama dalam pakaian, jenggot dan siwak. Gerakan-gerakan Islam juga disibukkan dengan pertikaian antara aliran, lebih mementingkan teks daripada reallitas, formalitas daripada substansi.

Gerakan Islam, termasuk di dalamnya Ikhwanul Muslimin, awalnya lahir dan berkembang dalam lingkungan liberal yang bebas. Dihidupkan oleh kaum cendikiawan di kampus-kampus modern. Tapi pada tahun 60 dan 70-an, gerakan-gerakan ini sudah tercemari dengan Salafi Wahabi.

Oleh karena itu, perubahan haluan politik Arab Saudi saat ini adalah kesempatan emas bagi gerakan Islam untuk mengambil jarak yang bisa membedakan mereka dengan Salafi Wahabi. Mereka harus kembali kepada warisan gerakan pembaharuan yang awalnya diseru oleh Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lainnya.

Sikap seperti ini mungkin akan ditolak oleh banyak orang, termasuk di dalamnya ayahku sendiri, Rached Ghannouchi. Akan lebih banyak orang yang memilih sikap berhati-hati. Tapi menurutku, sikap ini adalah yang terbaik dan terbenar jika memang aktivis Islam ingin terbebas dari belenggu-belenggu pemikiran dan politik saat ini. Inilah arah masa depan yang dibutuhkan dunia Islam, terutama di dunia Arab. Sangat mungkin hal berbahaya itu mengandung kebaikan yang besar. (sasapost/alodunia.com)
Ikhwanul Muslimin, Wahabi, dan Arab Saudi, Saatnya Berpisah? Reviewed by Alo Dunia on 6/30/2017 Rating: 5 Oleh: Soumaya Rached Ghannouchi alodunia.com – Semakin hari semakin terbukti bahwa Arab Saudi berada dalam posisi yang salah. Banyak...