alodunia.com – Lembaga Fatwa Tunisia mendukung
rencana Presiden Beji Caid Essebsi menyamakan porsi warisan laki-laki dan
perempuan dan melegalkan perempuan Muslimah menikah dengan laki-laki non
Muslim. Rencana Essebsi itu disampaikannya dalam pidato memperingati Hari Nasional
untuk Perempuan Tunisia, Ahad (13/8/2017) yang lalu.
Menanggapi hal tersebut, deputi Universitas Al-Azhar, Dr.
Abbas Shuman, menyatakan bahwa ajakan untuk menyamakan persamaan porsi antara
laki-laki dan perempuan hanya akan menzhalimi perempuan sendiri, bukan
memberikan kebaikan kepadanya. Bahkan hal itu bertentangan denan syariat Islam.
Shuman mengatakan, “Harta waris telah ditentukan
pembagiannya oleh ayat-ayat yang pemahamannya pasti. Tidak boleh ijtihad, dan
tidak akan berubah sesuai dengan perubahan kondisi, waktu dan tempat. Hukum waris
adalah satu di antara sedikit hukum yang telah Allah Taala perinci dalam
Al-Quran. Semuanya tertulis dalam surat An-Nisaa’. Ini sudah menjadi
kesepakatan para ulama.”
Menurut Shuman, ajakan menyamakan jatah perempuan dan
laki-laki dalam warisan adalah kezhaliman terhadap perempuan, bukan memberikan
keadilan kepadanya. Karena perempuan, tidak seperti yang dikira oleh kebanyakan
orang, jatahnya kurang dari laki-laki dalam setiap kondisi. Dalam kondisi-kondisi
tertentu, jatahnya sama atau lebih banyak dari laki-laki.
Shuman mencontohkan seorang perempuan yang meninggal dunia
meninggalkan suami, ibu, dan saudara seibu. Maka jatah ibu adalah sepertiga,
sedangkan jatah saudara seibu adalah seperenam. Di sini, perempuan mendapatkan
jatah dua kali lipat jatah laki-laki. Hal yang sama juga terjadi jika seorang
wanita meninggal dunia meninggalkan seorang ibu dan suami. Maka masing-masing
mendapatkan jatah setengah.
Shuman menambahkan, “Bahkan jatah dua pertiga, yang
merupakan jatah terbesar dalam pembagian warisan, adalah jatah yang hanya diberikan
kepada perempuan, yaitu saudara perempuan dan anak perempuan. Kasusnya adalah
jika ada perempuan meninggal dunia meninggalkan anak orang anak perempuan dan
saudara laki-laki kandung atau seayah. Maka dua anak perempuan mendapatkan
jatah dua pertiga, dan saudara laki-laki mendapatkan sepertiga. Masih banyak
lagi kasus yang menyamakan antara laki-laki dan perempuan. Semuanya sudah
diatur dengan adil dalam syariah, sesuai dengan kewajiban dan kedekatan
masing-masing kepada pemberi waris. Jadi perbedaannya bukan karena perbedaan
jenis kelamin; laki-laki dan perempuan.”
Hal yang sama, menurut Shuman, terdapat dalam larangan
seorang laki-laki Muslim menikahi wanita non Muslimah yang bukan Yahudi dan
Nasrani. Karena seorang laki-laki Muslim tidak beriman dengan agama Majusi,
misalnya, dan tidak diperintahkan untuk membolehkan istrinya beribadah dengan
cara Majusi. Maka bisa dipastikan akan terjadi pertentangan dalam kehidupan
keluarga seperti itu. Untuk menghindarinya, Islam melarang pernikahan seperti
itu. (youm7/alodunia.com)