alodunia.com – Imam Besar Masjidil Aqsa, Syakh Ekrima
Sabri, masih ingat betul bagaimana api membumbung tinggi dari Masjidil Aqsa,
disertai panggilan-panggilan pertolongan dari pengeras suara masjid kepada para
warga.
Seperti dituturkannya kepada Aljazeera, Senin (21/8/2017)
kemarin, Syaikh Sabri menceritakan, “Saat itu jam menunjukkan pukul 07 pagi,
tanggal 21 Agustus 1969. Dari kejauhan kita melihat ada asap yang mengepul dari
daerah diletakkannya mimbar di Masjidil Aqsa. Di saat yang sama, pengeras suara
tidak henti-hentinya meminta warga untuk datang menyelamatkan Masjidil Aqsa.”
Saat itu, Syaikh Sabri adalah seorang guru di SLTA Islam
Masjidil Aqsa. Sekolah ini terletak di dalam masjid. Tapi karena kebakaran
terjadi di bulan Agustus, sekolah pun sedang liburan musim panas.
“Kami semua lari menuju Masjidil Aqsa. Laki-laki, perempuan,
tua dan muda. Kami semua berjibaku memadamkan api. Suasana saat sungguh
mengerikan karena api menjalar ke bagian lain dengan sangat cepatnya,” demikian
kisahnya.
Syaikh Sabri menambahkan, api akhirnya bisa dipadamkan dengan
peralatan seadanya. Orang-orang berbaris menggilirkan ember berisi air, dari
sumber air memanjang hingga ke pusat api.
Syaikh Sabri menggambarkan suasana hati saat itu, “Orang-orang
melakukan itu semua dengan perasaan marah. Mereka menggilirkan air dengan terus
meneriakkan bacaan takbir dan tahlil. Banyak dari kami yang juga menangis. Ada juga
juga yang meneriakkan yel-yel melaknat para penjajah Israel.”
Usaha pemadaman masih dilakukan dengan cara seperti ini
sampai akhirnya datang mobil-mobil pemadam kebakaran dari kota Hebron, Betlehem
dan Ramallah. Mobil-mobil itu sempat dihalang-halangi oleh militer penjajah
Israel.
“Saat mobil pemadam kebakaran sampai, api sudah menjalar
hingga bagian timur masjid. Api melumat atap, dinding dan jendelanya. Tak terkecuali
mimbar, mihrab, karpet, dan mushaf-mushaf Al-Quran,” keluhnya.
Di hari yang sama, lembaga tertinggi Islam di Palestina langsung
melakukan jumpa pers. Kami menuduh Israel yang mendalangi kebakaran tersebut. “Di
waktu Ashar, orang-orang membawa sisa-sisa mimbar Shalahudin sambil berdemo
melawan penjajah Israel.
Kebakaran terjadi pada hari Kamis. Esoknya, masjid ditutup
untuk proses pembersihan, dan tidak dilaksanakan shalat Jumat di dalamnya.
Akhirnya, seorang Israel berkewarganegaraan Australia
bernama Michael Rohan diketahui sebagai tersangka yang menyulutkan api di dalam
masjid. Penjajah Israel akhirnya menangkap Rohan. Namun, menurut Syaikh Sabri, orang
yang sebenarnya melakukan pembakaran tidak cuma satu orang, tapi ada sekelompok
orang.
Syaikh Sabri menjelaskan, “Bahan bakar yang digunakan sangat
kuat pengaruhnya. Bahan tersebut tidak biasa dijual di pasaran. Tidak ada warga
biasa yang memilikinya. Jadi bisa dipastikan mereka mendapatkan bahan untuk
membakar itu dari militer, dan pemerintahlah yang merancang pembakaran
tersebut. Orang yang melaksanakan aksi juga bukan hanya seorang, tapi
sekelompok orang.”
Yang membuktikan bahwa pelaku bukan satu orang, menurut Syaikh
Sabri, kebakaran tidak hanya terjadi pada satu titik saja. Walaupun yang mereka
incar pertama kali adalah mimbar Shalahuddin yang menjadi simbol pembebasan
kota Al-Quds oleh umat Islam.
Beberapa waktu kemudian, penjajah Israel menyatakan bahwa
Rohan ternyata memiliki penyakit kejiwaan, sehingga akhirnya dibebaskan lalu
dipulangkan ke negaranya, Australia pada tahun 1974. Media kemudian
memberitakan Rohan meninggal di Australia pada tahun 1995.
(aljazeera/alodunia.com)