alodunia.com – Recep Tayyip Edogan terlalu disayang
rakyatnya. Boleh jadi ini kalimat yang tepat untuk menggambarkan kemenangan
telak presiden petahana dalam pilpres kali ini. Hasil quick count hingga pukul
2 malam (25/6), koalisi AKP dan MHP memenangkan 52,5 persen dari total 99,2
persen yang telah dihitung, menyingkirkan pesaing potensialnya, Ince Muharram
dari CHP.
Pilpres kali ini menjadi pertarungan sengit antara Erdogan
dan AKP, partai berkuasa versus kubu oposisi. Jika mereka pada akhirnya
mengajukan banyak calon, 6 orang kandidat, setidaknya ini merefleksikan bagian
dari strategi mereka untuk memecah basis suara Erdogan sehingga gagal mencapai
50 persen dan dengan demikian, berlangsung putaran kedua.
Dalam skenario ini, semua kubu oposisi akan bersatu untuk
melawan Erdogan di putaran kedua dan berakhirlah satu setengah dekade kekuasaan
Erdogan di panggung politik Turki.
Tengoklah bagaimana partai oposisi terkuat, CHP meminjamkan
16 alegnya ke Meral Akşener, kandidat presiden dari partai baru, İYİ agar lolos
dalam pencalonan presidennya.
Akşener berasal dari pecahan partai nasionalis MHP, sekutu
Erdogan yang dipuji-puji pers Barat sebagai serigala betina (she-wolf). Namun
alih-alih memporakporandakan suara MHP atau menggerus suara AKP, pesona sang
serigala itu justru menarik basis suara CHP sendiri. Akibatnya, perolehan
parlemen partai ini turun dari 25, 30 persen pada pemilu 2015 menjadi 22,7
persen pada pemilu kali ini. Partai besutan Akşener ini lolos dari jerat
parliamentary treshold 10 persen bersama partai Kurdi, HDP.
Sebagai komplikasi turunnya performan ekonomi pemerintah,
suara AKP cukup banyak tergerus dari 49 persen menjadi 42 persen.
Namun uniknya, hasil pemilu kali ini seperti memisahkan
secara demarkatif sosok Erdogan, presiden Turki yang sangat populer di mata
rakyat sehingga meningkat perolehan suaranya dalam pilpres kali dengan partai
yang didirikan dan bahkan dipimpinnya sendiri, yang merosot perolehan suaranya
dalam pemilu legislatif.
Mengapa Demikian?
Beberapa waktu sebelum pencoblosan, saya berdebat sengit
dengan sahabat saya tentang tweet Dr Rizal Ramli tentang skenario krisis
moneter yang berpotensi menjatuhkan Erdogan. Nilai tukar mata uang lira
terhadap dollar dalam setahun terakhir memang tidak begitu baik. Lira anjlok
hingga 5 persen dalam beberapa bulan terakhir, sementara suku bunga bank
meningkat 17,75 persen.
Secara statistik, Turki dapat dikatakan mengalami malaise
Ekonomi. Hanya saja, saya menolak tesis jika goncangan ekonomi tersebut
berpengaruh secara signifikan kepada performan Erdogan dalam pilpres mendatang.
Saya sebaliknya katakan, “Erdogan is slightly hurt, but not seriously wounded.”
(Sedikit terguncang, namun tidak terluka parah).
Keyakinan tersebut bersandar kepada dua observasi saya:
Pertama, rakyat Turki pada praktiknya tidak se-lebay
masyarakat masyarakat barat, dimana persepsi dan daya tahan (endurance) mereka
sangat ditentukan oleh hasil statistik dan performan ekonomi pemerintah.
Jeleknya raport ekonomi pemerintah akan menjatuhkan pemerintah. Sehingga alam
tradisi demokrasi Barat, sebuah partai berkuasa paling lama berkuasa hanya dua
kali.
Sebaliknya, basis pendukung tradisional Erdogan adalah
masyarakat konservatif yang memiliki kegigihan (perseverance) karena didorong
oleh keyakinan, pengabdian dan nilai yang diyakininya. Kandidat oposisi, baik
Ince maupun Akşener di sepanjang kampanye menyebut Erdogan sebagai politisi
yang gagal. Konsertasi yang tentu saja diamini hampir semua media Barat.
Alih-alih, melihat buruknya kinerja ekonomi secara temporer sebagai kegagalan
Erdogan, para pendukungnya justru melihat tuduhan yang dilemparkan itu sebagai
konspirasi asing untuk menjatuhkan pemerintah Erdogan.
Memang bukan kali ini saja, Erdogan menghadapi ketidaksukaan
blok Uni Eropa karena sikap independensinya. Pada 2013, Erdogan menerima
serangan keras media Barat ketika membungkam aksi protes Gezi dan kasus korupsi
orang-orang terdekatnya dan penangkapan orang-orang terdekatnya atas tuduhan
korupsi sebagai akibat perseteruannya dengan kelompok Gulenis. Dua aksi
tersebut diselebrasi media Barat sebagai awal kejatuhan Erdogan, yang
diparodikan sebagai Sultan Hamid Ketiga.
Kuatnya dukungan rakyat terhadap Erdogan terbukti efektif.
Pada 2016, mereka inilah yang turun ke jalanan Istanbul melawan kudeta dan
menghadang laju tank-tank militer dengan nyawa mereka. Plot kudeta yang tidak
terduga dan nyaris sempurna ini digagalkan lewat seruan perlawanan Erdogan
melalui aplikasi Facetime dan kumandang adzan dari masjid-masjid di seluruh
penjuru Turki.
Orang-orang yang sama kini secara sukarela melawan jatuhnya
mata uang lira dengan melepas dollar, euro dan emas mereka. Seorang walikota
memberikan liburan sepekan bagi pegawainya yang melepas lebih dari 500 dollar
simpanannya, seorang pedagang karpet akan memberikan karpetnya secara gratis
bagi mereka yang mau menukar 2000 dollar atau seorang dokter bedah yang
menawari pasiennya naik kuda gratis dengan cukup membawa bukti penukaran mata
uang.
Kedua, saya baru saja menghabiskan beberapa hari puasa dan
idul fitri tahun ini di Provinsi Gaziantep dan Istanbul. Sebagai pengalaman
pribadi, saya tidak melihat secara langsung suasana malaise ekonomi di jalanan.
Ekspansi properti dan pembangunan infrastruktur terus berjalan dan mewarnai
perjalanan kami selama 2 jam dari Gaziantep hingga Kahramanmaras atau Kilis di
perbatasan Suriah melalui jalan lengang nan mulus tanpa berbayar.
Gambaran serupa juga saya temui di jalanan Istanbul selepas
sholat Idul Fitri di masjid Fetih. Saya tidak melihat perbincangan yang merefleksikan
kekecewaan yang terlalu serius tentang kondisi ekonomi di kalangan warga di
lingkungan mahalle, observasi yang tampaknya dibenarkan rekan saya, seorang
mahasiswa S2 Indonesia yang telah tinggal 6 tahun di distrik Marmara. Tidak ada
gejolak di kalangan mahasiswa. Satu-satunya kekecewaan terhadap Erdogan dari
para mahasiswa Turki menurutnya hanya satu, yakni Erdogan berkuasa terlalu
lama.
Kendati observasi singkat tadi tidak dapat dijadikan
kesimpulan, namun tampaknya pandangan saya ini sejalan dengan apa yang menjadi
hasil pilpres kali ini. Angka statistik yang negatif pada akhirnya hanya
menjadi angka-angka mati di hadapan masyarakat Turki yang memiliki keyakinan
dan daya tahan.
Sosok Erdogan di mata rakyat Turki telah bertransformasi
menjadi figur penjamin stabilitas politik, ekonomi dan keamanan di dalam negeri
selama lebih dari satu dekade, sementara di dunia Islam, dia menjadi harapan
dan representasi ummah yang tidak berdaya secara politik.
Setidaknya itu yang tercermin dari pandangan seorang pengungsi
Palestina di Kilis, perbatasan Suriah yang saya jumpai. Baginya, kemenangan
Erdogan merupakan doa-doa tulus jutaan pengungsi di Turki dan kaum Muslimin di
seluruh dunia. Wallahu A’lam.
Ditulis oleh: Ahmad Dzakirin